Jumat, 06 Juni 2008

FPI; Islam dan Kekerasan

Tragedi mengerikan yang baru-baru ini terjadi, yaitu penyerangan terhadap aksi kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) oleh sekelompok berjubah yang menamakan diri Front Pembela Islam dan Laskar Islam, Minggu (1/6) menjadi preseden buruk kebebasan berkeyakinan di Indonesia.

Peristiwa itu juga sekaligus mencoreng nama Islam sebagai agama yang cinta damai dan menghormati sesama manusia.

Tidak hanya satu dua orang yang dibuat sakit hati dengan peristiwa itu, namun juga berjuta-juta umat Islam. Mereka tentu sakit hati melihat aksi anarkis yang dilakukan oleh sekelompok yang menamakan diri pembela Islam itu.

Tragedi Monas hari Minggu kemarin tidak hanya menyisakan rasa sakit di dalam hati, tapi juga menumbuhkan kegeraman, apakah tidak mungkin organisasi-organisasi anarkis seperti FPI itu diberantas dari bumi Indonesia. Bukan apa-apa, hanya untuk mengkondisikan kehidupan bangsa ini menjadi damai, aman, nyaman dan tenteram.

Diakui atau tidak, FPI telah membuat citra buruk pada Islam di Indonesia. Nabi mengajarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin yang menebarkan damai di mana-mana, tak peduli siapapun yang dihadapi; apakah dia umat Islam, atau dia orang di luar Islam. Nabi mengajarkan damai pada semua umat manusia. Nabi Muhammad tidak pernah memusuhi orang-orang di luar Islam, kecuali mereka menebarkan permusuhan (menyatakan perang) terhadap Islam.

Beberapa waktu yang lalu Pimpinan Muhammadiyah Din Samsuddin memberi ceramah di depan pimpinan-pimpinan umat Islam sedunia, bahwa berdakwah itu mengajak, bukan mendepak. Dakwah itu merangkul, bukan memukul. Ini sangat tepat untuk mengkritisi pola-pola dakwah (?) seperti yang dilakukan FPI dkk. yang mengambil jalur kekerasan untuk menegakkan syariat Islam (?). Padahal, aksi-aksi kekerasan yang mereka lalukan tidak berbuah simpati sedikitpun dari masyarakat, baik umat Islam sendiri, bahkan umat non Islam.

Mereka tidak pernah sadar bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya bertentangan dengan Islam. Tapi apa boleh buat, mereka itu – mengutip bahasa Gus Mus (KH Musthofa Bisri) – orang-orang awam (tidak tahu, bodoh) yang hanya menuruti imam mereka. Yang paling bertanggung jawab sesungguhnya adalah pemimpin-pemimpin mereka. Apa yang telah mereka ajarkan pada pengikut-pengikutnya itu hingga mereka lebih cenderung memilih jalur kekerasan untuk meluruskan apa yang menurut mereka bengkok.

Jika pengikut-pengikut itu awam alias tidak tahu alias bodoh, lalu bagaimana kita mendapat gambaran dari sosok-sosok pimpinan mereka? (Sesat?) Entahlah. Wallahu a’lam. Allah yang lebih tahu mana yang benar dan mana yang salah.


Teroris dalam Selimut

Diakui atau tidak, FPI dan organisasi-organisasi semacamnya telah menjadi lembaga teror yang meresahkan, bukan hanya sebagian umat Islam, tetapi juga siapa saja yang hidup di negara ini.

Bagi umat Islam sendiri, mereka adalah teroris dalam selimut yang siap menggigit dan menyerang kapan saja, di saat kita lengah atau terjaga. Mereka adalah the real teroris di tubuh Islam. Mereka tak mau menerima perbedaan. Mereka tak mau keragaman. Mereka tak mau taat hukum negara. Mereka tak menghormati negara pancasila.

Islam itu satu, tapi interpretasi ajarannya bermacam-macam. Ada keragaman, perbedaan pandangan, perbedaan cara dan lain-lain di dalam Islam. Semua perbedaan itu harusnya menjadi rahmah bagi semua umat Islam (mengutip pandangan Nabi: Ikhtilafu ummati rahmah). Justru denga perbedaan itu harusnya Islam menjadi contoh bagi semua umat manusia.

Namun sayang, hal-hal yang harusnya indah itu dicoreng oleh kelompok-kelompok anarkis yang mengklaim diri sebagai pembela Islam. Padahal, yang mereka lakukan justru kontra produktif. Artinya, alih-alih mereka memperjuangkan Islam, justru mereka menghancurkan Islam dari dalam, dengan merusak citra-citra baik Islam. Tindakan-tindakan kekerasan yang mereka lakukan adalah cermin dari ketidakdewasaan sekaligus kepicikan pandangan mereka tentang Islam. Bagi mereka – seakan-akan – Islam hanya bisa ditegakkan dengan menebar ketakutan. Islam hanya bisa tegak dengan teror yang mengerikan. Astaghfirullah.

Pelembagaan Kekerasan

Organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok Islam seperti ini sesungguhnya lahir dari cara pandang yang salah terhadap perjuangan Islam. Cara pandang yang salah ini tidak pernah didialogkan dan menemukan kanal yang baik untuk berdialektika. Cara pendang ini kemudian dilembagakan menjadi satu ideologi kekerasan dalam perjuangan.

Mungkin dasarnya adalah hadits Man roa minkum munkaran falyughayyir biyadihi, fain lam yastati’ fabilisanihi, fain lam yastati’ faboqalbihi, wahua adháful iman (Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaklah ia meluruskannya dengan tangannya, jika tak bisa, maka dengan lisan/perkataannya, dan jika tak bisa, maka dengan hatinya, namun itu (meluruskan dengan hati) adalah wujud keimanan yang paling lemah.).

Jika dasar ini dijadikan pegangan, maka sesungguhnya konteksnya sangat tidak tepat, mengingat negara ini adalah negara hukum. Negara ini bukan negara Islam yang memiliki landasan-landasan dan aturan hukum Islam, tetapi negara ini menganut hukum positif yang harusnya dihormati oleh semua warga negara, karena yang hidup di Indonesia bukan hanya orang-orang Islam, tetapi orang-orang dari berbagai agama dan kepercayaan.

Jika kelompok-kelompok seperti FPI ini ingin menegakkan syariat Islam sesuai dengan interpretasi perjuangan keislamannya, maka sangat tidak tepat dilakukan di negara yang memiliki asas hukum sendiri yang berbeda dengan Islam.

Ideologi kekerasan yang digenggam mereka ini kemudian dilembagakan menjadi organisasi-organisasi perjuangan yang lebih mengedepankan tindakan secara fisik dari pada memberi pencerahan dan penyadaran.

Inilah yang yang seperti diprihatinkan oleh Din Syamsuddin sebagai dakwah yang tidak mengajak, tetapi menyepak. Dakwah yang tidak merangkul, tetapi suka memukul. Lalu apa yang didapat dari upaya-upaya kekerasan ini? Bukan pencerahan tentunya, tapi sikap anti pati, dendam dan kebencian. Atau organisasi-organisasi seperti FPI ini sengaja menebar kebencian di dalam diri umat Islam? Wallahu a’lam.

Pelecehan terhadap Hukum

Tercatat, tidak hanya sekali dua kali FPI berbuat anarkis dan menebar teror di Indonesia. Sejak tahun 2002 FPI telah banyak berbuat anarkis dalam aksi-aksi “penegakan Islam” nya. Jdi sudah delapan tahun FPI eskis dengan aksi-aksi yang kian hari kian berani, tanpa menghormati sedikitpun keberadaan aparat penegak huku (kepolisian RI) dan hukum negara ini.

Dengan demikian, FPI sesungguhnya telah melecehkan negara dan hukum di Indonesia, serta mendelegitimasi keberadaan aparat hukum yang nota bene sebagai penegak hukum di Indonesia. FPI dengan serta merta melakukan tindakan-tindakan melawan hukum yang semakin hari semakin berani, seakan-akan hukum negara ini berikut penegaknya tidak pernah ada. FPI berjalan di luar koridor hukum negara.

Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok seperti FPI ini sesungguhnya sudah mengarah ke tindakan kriminal. Mereka melakukan perusakan, penganiayaan, penyerangan, penghancuran, pembakaran, namun seakan-akan tak ada kata berhenti atau dihentikan dari aksi-aksi mereka. Terbukti, selama delapan tahun mereka menebar teror dan melakukan berbagai tidakan kekerasan.

Data Komnas HAM sebagaimana dikutip Jawa Pos menyebutkan, tahun 2002 FPI melakukan perusakan pada sejumlah diskotek di Jakarta, mendemo Gubernur Sutiyoso dan merusak kafe-kafe. FPI juga melakukan sweeping terhadap tempat-tempat hiburan di Jakarta.

Tahun 2003, Ketua FPI Habib Rizieq sempat ditahan Polda Metro Jaya dan diadili. Ia divonis 7 bulan penjara. FPI juga menganiaya orang di jalan tol. Tahun 2004 FPI melakukan penyerbuan Sekolah Sang Timur, melakukan pengerusakan kafe, melakukan sweeping bulan Ramadhan, dan bentrok dengan satpan Jakarta International Container Terminal (JCT).

Tahun 2005, FPI menyerang kontes waria di Jakarta, menyerang Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu, dan mengancam TK Pertiwi untuk menghentikan kebaktian. FPI juga memaksa penutupan pameran foto Urban Culture, mengusir jemaat Gereja di Bekasi, menghalangi kebaktian, membawa senjata tajam saat demo di Polres Metro, dan menyerbu pemukiman jamaah Ahmadiyah di Cianjur.

Tahun 2006, FPI demo dan bertindak anarkis di Kedubes AS, membuat ricuk pendopo kabupaten Sukoharjo, menyerang dan merusak kantor majalah Playboy, menggerebeg tempat hiburan di Pondok Gede, menyegel kantor Fahmina Institut di Cirebon, mengusir Gus Dur di forum dialog lintas etnis dan agama di Purwkarta, dan mengepung kantor Polres Metro Bekasi.

Tahun 2007, FPI memukuli ibu-ibu dari Rakyat Miskin Kota di Jakarta, menyerang massa Papernas, bentrok dengan Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta (ARPY), mendatangi dan mengusir pengunjung diskotek di Yogya, dan membakar gedung Majelis Taklim Nurul Yakin Tangerang.

Terakhir, tahun 2008 ini FPI menyerang massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Jakarta.

Beberapa data di atas menunjukkan, betapa FPI tidak menghargai negara ini sebagai negara hukum. FPI benar-benar membuat teror bagi siapapun di negeri ini. FPI sama sekali tidak menghormati aparat penegak hukum dan kebijakan pemerintah.

Sikap Negara

Data-data di atas sekiranya cukup menjadi bukti betapa organisasi atau kelompok-kelompok seperti FPI sangat berbahaya, dan dapat merusak kerukunan umat beragama dan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. FPI menjadi kelompok yang harus diwaspadai setiap tindak tanduknya, karena ideologi kekerasan telah menancap di setiap otak anggota-anggotanya – mungkin juga pemimpin-pemimpinnya.

Dengan demikian, negara sebagai pelindung seluruh warganya harus bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok yang mengatasnamakan pembela atau pejuang Islam atau apapun namanya yang cenderung melakukan aksi-aksi anarkis dalam perjuangannya.

Jika tarafnya sudah membahayakan seperti FPI harusnya negara bisa bersikap, yakni dengan melarang keberadaannya atau membubarkannya. Bagaimanapun, negara, melalui institusi yang manapun, memiliki kewenangan untuk melakukn tindakan ini. Negara bertanggung jawab terhadap kenyamanan hidup rakyatnya dan melindunginya dari rasa tidak aman dari warga yang lain.


Malang, 3 Juni 2008

Tidak ada komentar: